GNP/PNB dan GDP/PDB Indonesia
Oleh : ABDULLAH UBAY SIDK, SE
Sampai pada periode paruh pertama tahun 1997, perekonomian Indonesia menunjukkan kinerja yang cukup baik yang ditandai dengan menguatnya beberapa indikator makro ekonomi. Pada tahun 1996 tercatat bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi mencapai 7,8% per tahun dan inflasi pada 5 bulan pertama mampu mencapai tingkat yang terendah selama 10 tahun terakhir pada periode yang sama. Adapun investasi langsung luar negeri mencapai $ 6,5 juta pada tahun fiskal 1996/1997, cadangan devisa resmi pemerintah mencapai $20 juta pada bulan Maret 1997 (cukup untuk 5 bulan impor), sementara tingkat depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika terpelihara pada kisaran 3-5% ( Bank Indonesia, 1997).
Perekonomian Indonesia kemudian mengalami perubahan mendadak setelah pada pertengahan tahun 1997 muncul masalah yang menghantam perdagangan valuta asing di kawasan Asia, yang diawali dengan guncangan pasar valuta asing di Thailand dan kemudian menjalar ke pasar valuta asing negara-negara lain termasuk Indonesia. Pada akhir periode tahun 1997, depresiasi riil nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mencapai angka 68.7% (IDE, 1999). Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tersebut tentunya berdampak negatif terhadap posisi neraca pembayaran, terutama karena jumlah utang luar negeri makin membengkak dimana pada tahun 1997 total stok utang luar negeri secara riil telah mencapai 64,2% GDP dan membengkak menjadi 95,3% GDP (World Bank, 1999 diolah kembali).
Pada saat keseimbangan eksternal tergangggu, terjadi pula ketidak-seimbangan internal. Kenaikan harga barang-barang sertamerta memperbesar angka inflasi. Pada akhir tahun 1997 angka inflasi mencapai 11,1% per tahun dan terus meningkat hingga mencapai 77,6% per tahun pada tahun berikutnya. Dalam kasus Indonesia, krisis nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar, terus menular ke sektor-sektor lainnya hingga menimbulkan krisis ekonomi. Pada akhir tahun 1997, pertumbuhan ekonomi tahunan (PDB riil) tercatat sebesar 4,7% sedang pada akhir tahun 1998 turun sebesar 13,2% (Bank Indonesia, 1999).
Dalam usaha mengatasi krisis ekonomi, seyogyanya pemerintah harus bertindak hati-hati. Karena, selain ingin mencapai target stabilitas nilai tukar, masih ada beban pencapaian target lain seperti menjaga agar tingkat inflasi tetap rendah dan mempertahankan tingkat bunga agar tidak melambung tinggi. Sementara itu, penanganan masalah utang luar negeri juga masih belum jelas solusinya.
Krisis pembayaran hutang ini berkembang menjadi krisis kepercayaan umum terhadap penyelenggaraan sistem ekonomi Indonesia. Dalam sebuah survey terhadap para pelaku bisnis, terungkap bahwa 92% responden menilai langkah pemerintah mengatasi krisis tidak efektif, dan 97% melihat dibutuhkannya reformasi yang menyeluruh. Para investor menghentikan aliran kredit dan modal di Indonesia, dan perdagangan luar negeri pun mengalami hambatan, karena tidak ada tanda-tanda akan terjadi perbaikan sistem yang sangat mereka perlukan. Kegiatan ekonomi merosot drastis, seperti GNP per kapita yang turun dari US$1.200 menjadi US$300, modal di pasar modal turun dari US$118 milyar menjadi US$17 milyar, dan lebih dari 90% perusahaan yang terdaftar di pasar modal Jakarta dianggap tidak sehat atau bangkrut.
lima macam besaran yang menunjukkan berbagai rasio yang menggambarkan keadaan utang luar negeri dilihat dari total stok (EDT), pembayaran cicilan dan bunga (TDS) serta pembayaran bunga (INT) di-bandingkan kemampuan perekonomian menciptakan pendapatan (GNP) dan devisa (XGS). Berdasarkan data pada Tabel di atas terlihat bahwa secara umum sepanjang periode sepuluh tahun terakhir, beban pembayaran utang luar negeri meningkat dari tahun ke tahun. Angka yang paling ekstrim adalah pada rasio stok utang luar negeri terhadap GNP (EDT/GNP) pada tahun 1997 dan 1998 yang mengalami kenaikan dari 65% menjadi 176.5% demikian pula halnya pada rasio pembayaran bunga terhadap GNP (INT/GNP) menunjuk-kan kenaikan dari 3.2 % menjadi 8.3 %. Dengan kurs mencapai Rp7.900,00 per dolar AS pada akhir tahun 1998 maka GNP mengalami penurunan drastis sekalipun secara nominal angka stok utang luar negeri dan pembayaran bunga meningkat. Adapun indikator-indikator beban utang luar negeri lainnya yang membandingkan dengan besaran ekspor, seperti rasio total stok utang luar negeri terhadap ekspor (EDT/XGS), rasio total debt service terhadap ekspor (TDS/XGS) dan rasio pembayaran bunga terhadap ekspor (INT/XGS) menunjukkan peningkatan. Hal ini karena ekspor pada tahun 1998 memang menunjukkan penurunan sebesar 14.5% dibandingkan tahun 1997, sementara total stok utang luar negeri meningkat dan pembayaran bunga dengan tanpa cicilan meningkat. Terlihat bahwa karena adanya kelangkaan devisa maka stok utang luar negeri pada tahun 1998 meningkat, baik yang sifatnya jangka panjang maupun jangka pendek. Sekalipun pada tahun 1998 ada penurunan dalam pembayaran cicilan dan bunga sebesar 3.69% lebih disebabkan adanya penurunan bunga dan cicilan utang luar negeri pemerintah, hal ini menunjukkan bahwa upaya penjadwalan kembali utang luar negeri swasta belum tampak.
Tabel 1. Perkembangan Indikator Beban Utang Luar Negeri Indonesia Tahun 1990-1998
Tahun | EDT/XGS | EDT/GNP | TDS/XGS | INT/XGS | INT/GNP |
1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 | 252.0 232.2 233.9 237.4 230.2 212.6 231.8 226.7 219.7 206.9 262.5 | 63.9 61.3 64.1 65.1 66.4 58.9 63.3 64.6 58.3 65.0 176.5 | 40.2 38.0 31.5 34.0 31.6 33.8 30.7 29.9 36.6 30.0 33.0 | 15.6 15.0 12.7 13.6 11.5 11.8 11.4 11.3 11.3 10.2 12.4 | 3.9 4.0 3.7 3.8 3.4 3.3 3.1 3.2 3.0 3.2 8.3 |
Sumber: Global Development Finance: Analysis and Summary Table. World Bank, 2001. Washington.
Keterangan : EDT = Total Debt Stocks; XGS = export goods & servies; GNP = Gross National Product; TDS = Total Debt Service; INT = Interest Payment
Dengan melihat profil utang luar negeri Indonesia tersebut tersirat bahwa kemampuan perekonomian untuk menyelesaikan kewajiban pengembalian utang luar negeri tidak disokong oleh kinerja perekonomian yang tangguh serta ekspor yang memadai. Akibatnya tambahan utang selalu menjadi solusi dalam menutup kebutuhan devisa dan ini berlangsung terus menerus dari tahun ke tahun. Secara teoritis, pembiayaan kembali (refinancing) bisa jadi dianggap rasional dengan asumsi bahwa dengan tambahan utang baru perekonomian akan tumbuh dan creditworthy di masa depan sepanjang biaya ekspektasi pinjaman baru tersebut lebih kecil dari manfaat kenaikan nilai tagihan saat ini, maka tambahan utang tersebut akan menurunkan beban utang dan memperbaiki expected value dari utang sekarang.
Walaupun tidak ada ukuran yang berlaku baku namun Bank Dunia menyatakan suatu negara termasuk severely indebted country dengan angka present value utang luar negeri/GNP sebesar 80% dan angka present value utang luar negeri/ekspor sebesar 220%. Berdasarkan data tahun 1997, maka besarnya rasio present value utang luar negeri Indonesia terhadap GNP adalah 21% sedangkan rasio present value utang luar negeri terhadap ekspor 151%. Jika kedua ukuran tersebut digabung dengan kriteria lain yakni GNP per kapita, maka Indonesia masih termasuk dalam kategori severely indebted middle income country (World Bank, 2001). Pada tahun 1998, posisi Indonesia malah makin memburuk hingga menjadi severely indebted low income country (World Bank, 2001).
Rasio utang luar negeri terhadap GNP bisa dianggap sebagai salah satu patokan tingkat kesehatan keuangan suatu negara. Fakta menunjukkan bahwa utang luar negeri Indonesia sudah mengeruk lebih dari separuh pendapatan nasional yang pada Tabel di atas terlihat bahwa angka EDT/GNP lebih dari 60% ini berarti utang luar negeri yang ditanggung oleh rakyat melebihi kemampuannya dalam menciptakan pendapatan. Sebagai perbandingan, pada saat Mexico mengalami krisis utang tahun 1983, besarnya utang luar negeri terhadap GNP mencapai 70% GNP.
Pembayaran utang (debt repayment) memakan waktu bertahun-tahun, yang mana setiap tahun sejumlah pokok (cicilan) dan bunga harus dibayar dalam bentuk devisa (penjumlahan keduanya disebut debt service). Seperti halnya pada angka rasio utang luar negeri terhadap GNP, walau tidak ada standar absolut mengenai ukuran DSR, namun angka di atas 30% dipertimbangkan bahaya dan secara rata-rata Indonesia juga terlihat sedikit melewati batas tersebut (TDS/XGS pada Tabel di atas).
Dengan asumsi pertumbuhan GDP 0% di tahun 1998, tingkat pengangguran akan mencapai jumlah 7,9 juta orang atau 8,3% dari total angkatan kerja. Dengan kontraksi GDP sebesar 5% angka itu merosot lagi sampai 9,2 juta orang atau 9,7% dari total angkatan kerja. Angka ini belum termasuk jumlah penduduk underemployment (bekerja kurang dari 35 jam seminggu) yang pada tahun 1996 saja mencapai jumlah 41,47% dari total angkatan kerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar