PENDIDIKAN HATI
Oleh : BARAUNA, S.Psi
v PENDIDIKAN KEIMANAN
Pendidikan iman merupakan upaya menumbuh-kembangkan kondisi kepercayaan (I’tikad) hamba untuk meyakini bahwa Allah adalah Wujud Yang Esa, tidak didahului oleh wujud yang lain, yang keberadaan-Nya bersifat baqa’. Kemudian percaya bahwa Malaikat Allah termasuk hamba-Nya yang mulia, karena tidak pernah menyalahi perintah-Nya, tidak pernah melebihi serta menguranginya sedikitpun. Karena itu, mereka disebut Mukramun (yang dimuliakan oleh Allah) dan Sadiqin (tidak pernah menyalahi perintah-Nya).[1]
Lalu menumbuh-kembangkan kepercayaan bahwa kitab Allah (yang disebut kitab suci), yang merupakan kalam-Nya yang mengandung kebenaran mutlak, yang diturunkan kepada Rasul-Nya melalui Malaikat Jibril. Dan percaya bahwa Rasul yang diutus untuk memimpin umat dengan tuntunan kitab suci-Nya, merupakan figur dari manusia pilihan yang memiliki kondisi fisik dan rohani yang sempurna, serta perilaku yang mulia.
Kemudian menumbuh-kembangkan kepercayaan bahwa sesudah hidup nanti, manusia hidup lagi di alam yang lain, yang disebut alam akhirat. Disanalah kehidupan selama-lamanya, sesudah melalui proses pemeriksaan dan pembalasan dari seluruh amalan yang telah dikerjakan manusia ketika masih hidup di dunia. Di sana ada surga tempat menampung orang-orang yang beruntung, dan ada neraka tempat menampung orang-orang yang celaka. Dan percaya juga kepada qadar baik dan buruk, yang telah ditentukan dan ditetapkan oleh Allah Swt kepada seluruh hamba-Nya.
Begitu juga dalam Hadits yang diriwayatkan oleh al-Tabraniy, yang bersumber dari al-Aswad yang mengatakan:
Artinya: Setiap bayi dilahirkan dengan membawa fitrah, sehingga lidahnya dapat berkata-kata (berbicara). Maka kedua orang tuanya (yang dapat mendidiknya) menjadi Yahudi, Nasrani dan Majusi.[2]
Pendidikan iman berlangsung sejak manusia masih bersifat konsepsi, masa sejak dalam kandungan, masa sejak lahir, hingga proses pendidikan yang berlaku pada dirinya, dengan malalui tahapan-tahapan perkembangannya, sampai mencapai umur dewasa.
Pendidikan iman berlangsung pada diri setiap manusia, dengan beberapa macam bentuk. Tergantung kehendak manusianya; apakah dengan menggunakan bentuk informal, bentuk non-formal maupun bentuk formal. Bentuk formal dilakukan dengan cara terencana serta teratur; memiliki waktu tertentu, perangkat kurikulum yang telah direncanakan, serta tenaga pengajarnya yang sesuai dengan kualifikasi tertentu. Sedangkan bentuk informal dan non-formal, tidak dilakukan secara teratur sebagaimana halnya dengan bentuk formal.
Pendidikan keimanan yang dilangsungkan di sekolah, dilakukan dengan pengisian otak (intelektual) dengan ilmu yang menerangkan tentang keimanan, termasuk menerangkan tujuan mempelajarinya. Tetapi pendidikan keimanan yang dilakukan di rumah tangga dan di masyarakat, banyak menekankan pada pembiasaan perilaku serta nasehat-nasehat dari pendidiknya.
Bahkan tindakan kesalehan atau pergaulan yang dilandasi dengan nilai moral, termasuk sarana peningkatan keimanan bagi manusia; misalnya kejujuran dan keadilan yang dilandasi oleh keiamanan, tetapi tindakan tersebut juga termasuk peningkatan kembali keimanan yang ada dalam diri manusia. Jadi ada hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi antara keimanan dalam diri manusia dengan amalan agama dan tindakan sosial yang dilakukannya.
Materi pendidikan keimanan, harus sesuai dengan tingkat kematangan berpikir anak, agar mudah diserap dan gampang diamalkan. Karena keimanan merupakan kepercayaan terhadap hal-hal yang gaib, maka pendidiknya harus mampu menyajikan dengan keterangan dan analogi yang bisa diterima oleh akalnya. Termasuk juga cerita para Nabi dan orang-orang Saleh merupakan materi pendidikan keimanan.
Karena keimanan dalm diri manusia, sering juga mengalami kesuraman karena tertutupi oleh kelalaian beribadah, istigfar dan berdoa’ serta kebanyakan melakukan maksiat, maka Rasullah Saw sering memerintahkan kepada para sahabatnya, agar selalu memperbaharui imannya, dengan mengatakan dalam Hadits riwayat Ahmad dan al-Hakim yang bersumber dari Abi Hurairah.
Artinya : Perbaharuilah imanmu. Ketika (Nabi) ditanya: Bagimana cara memperbaharui iman kami hai Rasulullah? Nabi mengatakan: Hendaklah engkau memperbanyak (mengucapkan) kalimah La Illaha Illallah.[3]
v PENDIDIKAN TAQWA
Pendidikan taqwa meupakan upaya menumbuh-kembangkan realisasi kekuatan iman menjadi perbuatan yang dilandasi amar ma’ruf dan nahi munkar. Begitu kuatnya hubungan iman dengan taqwa, bagaikan pohon kurma yang pangkal batangnya tertanam dengan kuat dalam tanah, sedangkan pelepah dan daunnya menjulang tinggi ke langit. Sama halnya dengan iman yang tertanam dengan kuat dalam hati, sedangkan cabangnya terlihat dalam perilaku manusia yang bersifat amal saleh yang tidak terhitung banyaknya.[4]
Dalam kajian terdahulu, disebutkan bahwa pendidikan iman dilakukan dengan segala macam amal saleh, yang sebenarnya disebut taqwa. Maka sudah barang tentu, bahwa taqwalah yang manjadi alat untuk mencapai keberhasilan peningkatan iman seseorang. Mendidik ketaqwaan, berarti juga mendidik rasa iman. Karena itu, ada Ulama tasawuf yang mengatakan, bahwa iman adalah ketaqwaan yang paling dalam, sedangkan amal saleh adalah taqwa yang berada di luar hati. Tentu saja, dapat dilihat dan dinilai dengan melalui perilaku setiap manusia.[5]
Proses berlangsungnya pendidikan taqwa, sering dengan berlangsungnya pelaksanaan ibadah ritual dan ibadah sosial. Semakin tinggi intensitas ibadah yang dilakukan oleh manusia, semakin tinggi pula upaya-upaya untuk mendidik ketaqwaannya. Termasuk juga sikap syukur, taubat, sabar, tawakkal dan ikhlas menjadi sarana untuk mencapai tujuan pendidikan taqwa, meskipun sarana tersebut masih perlu dididik lagi; sehingga kajian berikut ini, akan dibahas pendidikan syukur, pendidikan taubat, pendidikan sabar, pendidikan tawakkal dan pendidikan ikhlas.
v PENDIDIKAN SYUKUR
Pendidikan syukur merupakan upaya menumbuh-kembangkan sikap syukur manusia, sehingga ia mampu menerapkan sesuai dengan harapan agama, yaitu hamba mampu melihat dengan mata hatinya, bahwa Allah yang memberikan nikmat kepadanya. Sehingga kepada setiap menerima nikmat, selalu hadir dalam hatinya Zat Pemberi Nikmat (al-Mun’im); yaitu Allah Swt. Inilah yang dimaksud oleh al-Syibliy dengan kata-kata hikmahnya yang mengatakan:
Artinya: Syukur yang sebenarnya adalah (jikalau hamba) dapat melihat Zat Pemberi Nikmat, bukan melihat nikmat-Nya itu sendiri.[6]
Kemudian kesyukuran dengan merealisasikan amalan baik terhadap Pemberi Nikmat (Allah) dan terhadap sesama manusia, yang didahului dengan perasaan hati bahwa Allah memberikan nikmat kepada hambanya karena maksud kebaikan dan kesempurnaan hidupnya, maka inilah yang disebut dengan al-Syukru Bi-‘Amali al-Qalbi. Lalu kesyukuran dengan mengucapkan kalimah syukur dan tahmid, yang disebutnya sebagai al-Syukru Bi-‘Amali al-Lisan. Dan syukur dengan memperbanyak ibadah badaniyah terhadap Allah sebagai Pemberi Nikmat, lalu nikmat itu pula digunakan untuk memberikan pertolongan kepada sesama makhluk, terutama kepada manusia yang membutuhkannya, maka inilah yang disebut dengan al-Syukru Bi-‘Amali al-Jawarih.
v PENDIDIKAN SABAR
Pendidikan sabar merupakan upaya menumbuh-kembangkan sikap yang mampu menerima beban moral, sanggup menerima sesuatu yang tidak disenanginya, dan mampu menahan diri dari kecenderungan hawa nafsunya dengan hati yang tabah. Dengan demikian, pembagian sabar menjadi tiga macam[7], yaitu:
1. Ketabahan menerima perintah Allah dan melaksanakannya, yang disebut “Sabar ‘Ala al-Ta’ah”.
2. Ketabahan menerima cobaan Allah yang sering menimpa dirinya, keluarganya dan harta kekayaannya, yang disebut “Sabar ‘Ala al-Musibah”.
3. Ketabahan meninggalkan maksiat; baik yang akan dihadapi maupun yang sedang dikerjakan, yang disebut “Sabar ‘Ala al-Ma’siyah”.
Ada kaitan antara sikap syukur dengan sabar, karena keduanya dihadapkan dengan pemberian Allah (Mawahibullah). Ketika hamba diberi sesuatu oleh Allah, maka ia wajib mensyukurinya. Dan ketika Allah mencabut kembali pemberian-Nya, maka hamba wajib bersabar. Mensyukuri pemberian Allah lebih gampang daripada sabar terhadap pencabutan pemberian-Nya. Karena itu, pahala bersabar lebih besar daripada pahala bersyukur, dan al-Qur’an sering mengemukakan bahwa orang yang sabar selalu bersama dengan Allah, sehingga sabar merupakan salah satu maqam dalam tasawuf, untuk menjadi salah satu sarana pencapaian ma’rifat, yang oleh Imam al-Gazaliy disebut kedekatan dengan Allah (al-Qurbu). Sedangkan Abu Yazid al-Bustamiy menyebutkan kesatuan dengan Allah (al-Ittihad),[8] al-Hallaj menyebutnya al-Hulul dan Ibnu ‘Arabiy menyebutkan dengan Wihdah al-Wujud. Ini dapat diperoleh dengan kesabaran, bersama dengan tingkatan maqam yang lain.[9]
Ada salah satu Hadits yang menyebutkan, bahwa syukur dan sabar merupakan dua sikap yang dibangun di atas iman yang kuat, misalnya dikatakan bahwa iman merupakan dua bagian sikap, yaitu separuh berwujud syukur dan separuhnya lagi yang lain merupakan sabar, dengan mengatakan:
Bahkan ada indikasi yang menunjukkan bahwa melemahnya iman bila manusia tidak sanggup bersabar menerima cobaan Allah. Dan bagi orang awam, sikap ini merupakan puncak perjuangannya untuk mendapatkan pahala yang besar, sebagaimana diterangkan oleh ibnu Abbas.
Jumlah tingkatan pahala yang didapatkan oleh orang yang mampu bersabar, terdiri dari 300 + 600 + 900 = 1.800 tingkatan pahala.[10] Dan al-Qur’an surah al-Zumar ayat 10 menyebutkan bahwa orang-orang yang bersabar diberi pahala oleh Allah tanpa batas, dengan mengatakan:
Artinya: .... Sesungguhnya hanya orang-orang sabar yang dicukupkan pahala tanpa ada batas.
Mendidik diri untuk bersabar, dimulai dari pemahaman bahwa seluruh cobaan yang diberikan oleh Allah kepada kita pasti mempunyai hikmah yang sangat dalam, bisa bermaksud menegur hamba yang sudah lupa terhadap-Nya, bisa bermaksud menguji dan sebagainya. Lalu memahami lagi bahwa cobaan itu pasti ada batasnya, dan diberi pahala bagi orang yang sanggup menerimanya dengan ketabahan.
Kemudian manusia tidak boleh terlalu mencintai sesuatu melebihi dari kecintaan kepada Allah, karena seseorang tidak bisa bersabar kalau sesuatu yang sangat dicintainya dicabut kembali oleh Allah. Semakin sering ditimpa cobaan, semakin kuat menerimanya. Semakin kuat menerima cobaan, semakin kuat kesabarannya. Maka cobaan yang sering menimpa manusia dapat dijadikan sebagai latihan kerohanian atau pendidikan hati untuk semakin memperkuat kesabaran yang ada dalam diri kita.
Keberhasilan pendidikan sabar yang diperoleh manusia, dapat dilihat indikasinya sebagai berikut:
1. Ia mampu menahan diri dari rintangan yang sering timbul ketika ia akan melakukan ketaatan. Rintangan yang dihadapinya segera dapat dilewati dengan baik.
2. Ia sudah sanggup mematahkan kebiasaan yang buruk, lalu digantikan dengan kebiasaan yang baik.
3. Jiwanya sangat tergantung dari keinginan batin yang selalu haus dengan perbuatan yang luhur.
Tiga macam indikasi keberhasilan pendidikan sabar yang tersebut di atas, dimaksudkan oleh Tantawiy Jauhariy sebagai sesuatu keberuntungan. Indikasi ini dijadikan jabaran penafsiran ayat 200 dari surah Ali Imran yang difungsikannya sebagai salah satu dasar pendidikan sabar bagi peserta didik.
v PENDIDIKAN TAUBAT
Pendidikan taubat dimaksudkan sebagai upaya untuk menumbuh-kembangkan sikap penyesalan karena telah melakukan kesalahan, lalu menyatakan bertaubat dengan cara tidak akan mengulangi lagi kesalahannya.
Melakukan taubat, ditempuh dengan tiga macam cara; yaitu dengan pengertian dan pemahaman (Bi-‘Ilmin), dengan penampilan sikap (Bi-Halin) dan perilaku yang nyata (Bi-Fi’lin). Ketiga macam cara tersebut menjadi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik yang menjadi sasaran pendidikan dalam diri manusia.
1. Sasaran pendidikan taubat dengan cara menumbuh-kembangkan ranah kognitif pada diri manusia; yaitu mengajarkan bahwa perbuatan buruk yang dilakukannya termasuk mengandung dosa dan berdampak negatif terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Serta mengajarkan pula jenis perilaku yang dinilai sebagai perbuatan buruk.
2. Sasaran pendidikan taubat dengan cara menumbuh-kembangkan ranah afektif dan psikomotorik pada diri manusia; yaitu menanamkan sikap dengan penyerapan pemahaman tentang masalah taubat dalam hati manusia, sehingga dapat menghayatinya. Dengan sendirinya pemahaman taubat dan cara melakukannya, menjadi bagian dalam hidupnya. Jiwanya selalu mengendalikan perilakunya untuk selalu bertaubat; baik ketika ia akan melakukan sesuatu perbuatan, maupun sesudahnya.
Untuk memotivasi manusia agar selalu melakukan taubat, maka ada beberapa ayat al-Qur’an yang dapat dijadikan sebagai acuan; antara lain ayat 17 dan 18 surah al-Nisa’ ayat 119 surah al-Nahl dan ayat 8 surah at-Tahrim. Ayat-ayat tersebut menjadi konsep dasar pendidikan taubat yang menurut Tantawiy Jauhariy dalam tafsirnya Juz II halaman 21 mengatakan, bahwa mendidik manusia bertaubat, sekurang-kurangnya dapat dilakukan dengan dua macam cara, yaitu:
1. Menanamkan jiwa dan perasaan yang selalu terobsesi menghindari perbuatan buruk, karena takut terkena akibat buruknya, yang disebut dengan al-Ta’lim bil-Irhab.
2. Menanamkan jiwa dan perasaan yang selalu terobsesi melakukan sesuatu yang baik dari perbuatannya yang baik pula, yang disebut dengan al-Ta’lim bil Rugbah wal-Wijdan.
Al-Gazaliy mengatakan, bahwa bertaubat dapat dilakukan dengan tiga macam tahapan; yaitu tahapan mengerti dan menyadari kesalahan yang telah dilakukannya, yang disebut “Rutbah al-‘Ilmi. Lalu beralih kepada tahapan penyesalan, yang disebut “Rutbah al-Nadam”, kemudian terobsesi untuk bersegera melakukan perbuatan yang baik, yang disebut “Rutbah al-‘Azm”. Setelah manusia menyadari kesalahannya, lalu meninggalkannya dan kemudian melakukan yang terbaik menurut agama maka baru tercapai tujuan sementara dari pendidikan taubat yang dilaluinya. Sedangkan tujuan akhirnya adalah pencapaian kondisi ma’rifat atau kedekatan dengan Allah, yang disebut dengan “al-Wusul Ila al-Qurbi”.[11]
v PENDIDIKAN TAWAKKAL
Pendidikan tawakkal dimaksudkan sebagai upaya untuk menumbuh-kembangkan sikap yang selalu mau menyerahkan segala persoalan kepada Allah.
Manusia yang selalu dihadapkan dengan berbagai macam persoalan hidup, maka agama Islam menjadikan sikap tawakkal sebagai upaya maksimal, setelah manusia melakukan opsi yang terakhir. Dan kalau tawakkal itu dijadikan suatu kekuatan untuk memecahkan persoalan yang sering dihadapi oleh manusia, maka sekurang-kurangnya ia menjadikan empat macam kekuatan untuk mengatasinya; yaitu:
1. Ia mengandalkan bantuan dari sesama manusia untuk menghadapi persoalannya; yang disebut al-Tawakkal ‘Ala al-Khalqi.
2. Ia mengandalkan kekuatan harta benda dan kekayaannya; yang disebut al-Tawakkal ‘Ala al-Mali.
3. Ia mengandalkan kemampuan dirinya; misalnya ilmu dan keterampilannya, serta kewibawaannya, yang disebut al-Tawakkal ‘Ala al-Nafsi.
4. Ia mengandalkan pertolongan Allah ketika menghadapi sesuatu persoalan, setelah ia berusaha semaksimal mungkin, hal ini disebut dengan al-Tawakkal ‘Ala al-Rabbi.
Pendidikan tawakkal, harus dimulai dengan pemahaman tentang kepasrahan kepada Allah, lalu menjadi penghayatan dan sikap yang terkondisi dalam pribadi manusia, yang disebut al-Hal. Kemudian mengamalkannya dengan cara melewati empat macam tahapan:
1. Harus dimulai dengan niat untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi oleh manusia.
2. Harus ada usaha untuk menghilangkan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesulitan.
3. Harus ada usaha untuk memanfaatkan faktor-faktor yang dapat mengatasi kesulitan itu.
4. Harus memasrahkan sepenuhnya usaha-usaha terakhir kepada Allah Swt.
Tujuan sementara pendidikan tawakkal adalah untuk memebentuk perilaku Muslim agar mampu melakukan kepasrahan kepada Allah bila telah melakukan sesuatu, tetapi tujuan akhirnya adalah pencapaian kondisi ma’rifat kepada Allah Swt.
v PENDIDIKAN IKHLAS
Pendidikan ikhlas dimaksudkan sebagai upaya untuk menumbuh-kembangkan sikap ketulusan hati dalam diri manusia.
Ada beberapa ayat al-Qur’an yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan pendidikan ikhlas kepada peserta didik; antara lain surah al-Baqarah ayat 139, surah al-Zumar ayat 2, 11 dan 14, surah al-Bayyinah ayat 5.
Imam al-Gazaliy membagi sikap ikhlas menjadi dua macam; yaitu ikhlas beramal (Ikhlasu al-‘Amal) dan ikhlas dalam mencari pahala (Ikhlasu Talabi al-Ajri). Ia menjelaskan pengertian kedua macam ikhlas tersebut dengan mengatakan:
Artinya: Adapun ikhlas beramal adalah keinginan semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, mengagumi serta menerima perintah-Nya..... Sedangkan ikhlas dalam mencari pahala adalah keinginan memperoleh manfaat akhirat (ketika melakukan) perbuatan baik. (Al-Gazaliy : t.t : 80-81)
Al-Junaid mengatakan; ikhlas adalah amal yang dilakuakn dengan kemurnian hati. Sedangkan al-Fadil bin ‘Iyad mengatakan; ikhlas adalah melakukan amal dengan introspeksi diri yang bersifat kontinue, dengan tidak mengharapkan keuntungan dunia.
Pendidikan ikhlas sangat terkait dengan fungsi-sungsi kejiwaan yang lain; misalnya kebenaran sikap dan kesabaran. Zun al-Nun al-Misriy mengatakan: Sikap ikhlas tidak akan sempurna kalau tidak dilengkapi dengan kebenaran (al-Sidqu) dan kesabaran (al-Sabru). Begitu juga halnya kebenaran tidak sempurna kalau tidak dilengkapi dengan keikhlasan yang kontinue (al-Mudawamah Fil-Ikhlas). Keikhlasan yang tidak diiringi dengan fungsi-fungsi kejiwaan tersebut, bisa menjadi amal yang sengaja ditunjukkan kepada orang lain, yang disebut Riya’. Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa indikasi adanya keikhlasan amal seseorang, dapat diidentifikasi dari tiga fenomena; yaitu:
1. Perbuatan baik yang tidak membutuhkan pujian dari orang lain.
2. Perbuatan baik yang tidak dipertunjukkan kepada orang lain.
3. Pebuatan baik yang tidak bermotivasi keduniaan, kecuali hanya bermotivasi keakhiratan.
Adapun tujuan sementara pendidikan ikhlas (Gayah al-Ikhlas) adalah mendidik manusia agar mampu menghindari amal baik yang sengaja ditunjukkan kepada orang lain (Riya’ al-Nas), lalu segala perbuatannya yang baik dirahasiakannya, sebagaimana cara merahasiakan perbuatannya yang buruk. Lalu tujuan akhirnya adalah dimaksudkan untuk menjadi perantara (wahana) kedekatan dengan Allah, sehingga Ahli Tarekat menjadikan ikhlas sebagai salah satu maqam (tingkatan kondisi kerohanian) calon sufi untuk mencapai tujuannya; yaitu pencapaian tingkatan Ma’rifat; yang diartikan oleh ahli Tasawuf Sunni sebagai kedekatan dengan Allah (al-Taqarrub). Sedangkan Ahli Tasawuf Falsafi menyebutnya sebagai Kesatuan Wujud (al-Ittihad, al-Hulul dan Wihdatu al-Wujud).[12]
REFERENSI
1. H. Maftuh, Ikhlas, Jakarta: Bintang Remaja, 1990
2. Mahjuddin, Drs., Pendidikan Hati, Jakarta: Kalam Mulia, 2000
3. Rohan, Abujamin, Drs., Sadaqoh Penangkal Bala, Jakarta: Media Dakwah, 1996
[1] Drs. Mahjuddin, Pendidikan Hati, (Kalam Mulia, 2000), hlm. 37
[2] Al-Suyutiy: Juz II : t.t. : 158
[3] Jainuddin bin Abdil Aziz al-Malibariy : t.t. : 3
[4] Abu al-Aziz al-Dairaniy, Juz I : t.t. : 15
[5] Drs. Mahjuddin, Kajian Tasawuf Amali, (Kalam Mulia, 2000), hlm. 42
[6] Dahlan al-Kadiriy : Juz II : t.t. : 469
[7] Drs. Mahjuddin, Pendidikan Hati, (Kalam Mulia, 2000), hlm. 46
[8] Drs. Mahjuddin, Pendidikan Hati, (Kalam Mulia, 2000), hlm. 48
[9] Drs. Mahjuddin, Kajian Tasawuf Amali, (Kalam Mulia, 2000), hlm. 47
[10] Drs. Mahjuddin, Pendidikan Hati, (Kalam Mulia, 2000), hlm. 48
[11] Al-Ghazaliy Juz III : t.t. : 102
[12] Drs. Mahjuddin, Pendidikan Hati, (Kalam Mulia, 2000), hlm. 54
Tidak ada komentar:
Posting Komentar