SYARIAT ISLAM
RAHMAT BAGI SELURUH MANUSIA
Oleh: MR Kurnia
Bila sebelum era 90-an pembicaraan tentang syariat Islam sangatlah ditabukan, kini syariat Islam mulai lagi menjadi wacana. Hal ini sangat logis, di satu sisi sistem kapitalisme yang kini diterapkan di dunia gagal memanusiakan manusia bahkan berhasil menciptakan kehidupan manusia sebagai kehidupan hewani di hutan belantara. Pada sisi lain, kesadaran umat untuk kembali berpegang teguh kepada ajaran Islam yang dianutnya semakin tumbuh. Sekalipun hal ini cukup menggembirakan, namun bukan berarti tanpa masalah. Salah satunya adalah perlu sosialisasi tentang makna syariat Islam yang dimaksud.
Syariat (asy Syarîah) secara bahasa berarti sumber air minum (mawrid al mâ` li al istisqâ) atau jalan lurus (at tharîq al mustaqîm). Sedangkan, menurut istilah syar’iy syariat itu bermakna perundang-undangan yang diturunkan Allah swt. bagi hamba-hamba-Nya baik dalam persoalan akidah, ibadah, akhlak, mu’amalah dan sistem kehidupan untuk meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Syariat Islam merupakan syariat Allah Dzat Maha Bijaksana bagi semua manusia yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengatur hubungan manusia dengan Rabb-nya, dirinya sendiri dan sesama manusia.
Wujud Kesadaran
Semua kita sadar, Indonesia masih dalam krisis multidimensional. Tentu, semua ini merupakan produk dari sistem hidup dan kehidupan yang selama ini diterapkan. Yaitu, sistem kapitalisme dalam segala bidang. Karenanya, untuk keluar dari krisis ini tidak dapat bila hanya ganti orang dengan membiarkan sistem yang selama ini berlaku.
Persoalannya adalah sistem mana yang akan dipilih. Memilih sistem kapitalisme sama saja dengan mempertahankan kerusakan dan krisis. Sebab, bukan hanya di Indonesia, AS sebagai gembong kapitalisme mengalami hal serupa. Dalam buku America Number One, Andrew L. Saphiro memaparkan bahwa Amerika nomor satu dalam segala-galanya: dalam sains dan teknologi, ekonomi, serta kriminal, hutang, pelanggaran HAM, diskriminasi, kesenjangan, penyimpangan perilaku sosial, peredaran obat terlarang dan obat bius. Sementara itu, pilihan Sosialisme-Komunisme tidak rasional. Alasannya, sistem tersebut telah hancur sekalipun baru berkuasa 74 tahun. Bila demikian, alternatif terakhir adalah Islam. Jadi, tuntutan ditegakkannya syariat Islam dilandasi oleh kesadaran terhadap krisis dan kepekaan terhadap solusi terbaiknya. Pilihan ini ditopang oleh bukti sejarah tentang kehandalam syariat Islam dalam memecahkan berbagai persoalan manusia lebih dari 12 abad.
Syariat Islam datang dalam rangka memecahkan masalah bagi kemaslahatan semua elemen masyarakat. Sekedar menyebut contoh, ketika Islam menetapkan sebuah sistem ekonomi yang berlandaskan pada prinsip syariat, maka sistem itu adalah untuk seluruh masyarakat tanpa memandang muslim ataupun non muslim. Ketentuan larangan riba dan judi serta penggunaan mata uang dinar dan dirham akan membuat ekonomi masyarakat tumbuh secara nyata (bukan semu seperti dalam sistem ekonomi kapitalisme yang ditopang oleh kegiatan ekonomi ribawi dan perjudian sebagaimana tampak dalam perdagangan saham dimana keduanya menghasilkan buble economy yang sangat rentan terhadap gejolak) dan stabil karena bertumpu pada kegiatan ekonomi riil serta ditopang oleh mata uang yang juga benar-benar kuat dan tidak mudah mendapat tekanan inflasi dan depresiasi. Ketika ekonomi secara umum gonjang-ganjing sejak Indonesia mengalami krisis, lembaga keuangan syariat menunjukkan ketegarannya. Atau ketentuan syariat Islam dalam banyak hadits bahwa komoditas milik umum seperti minyak, hutan, gas alam, emas dan barang mineral lain adalah milik umum yang karenanya harus dikelola oleh negara. Hasilnya, diberikan kepada seluruh rakyat baik langsung maupun tidak langsung melalui pendidikan dan kesehatan murah bahkan gratis akan membuat rakyat merasakan manfaat dari kekayaan sumberdaya alam yang dimilikinya. Tidak seperti saat ini. Berikutnya, pertumbuhan ekonomi yang nyata dan stabil akan menghasilkan kesejahteraan bagi semua dan memupus jurang atau ketimpangan sosial-ekonomi diantara anggota masyarakat. Kebaikan sistem ekonomi Islam ini dirasakan oleh warga, siapapun dia, muslim ataupun non muslim.
Realitas menunjukkan bahwa sistem ekonomi sekarang ini bukan hanya tidak mampu menyelesaikan masalah tapi malah dari waktu ke waktu justru menciptakan masalah. Lebih dari lima puluh tahun memimpin Indonesia, kapitalisme –terlepas dari para birokrat bermental korup- membuat lebih dari 100 juta rakyat Indonesia jatuh ke jurang kemiskinan, 47 juta menganggur, jutaan anak terpaksa putus sekolah, hutang negara makin menumpuk, pajak kian mencekik leher, beban hidup semakin berat. Semua akibat buruk ini dirasakan oleh seluruh rakyat, muslim ataupun non muslim. Siapa yang suka dengan sistem yang melahirkan keburukan-keburukan seperti ini?
Begitu juga, syariat Islam menetapkan adanya pendidikan bermutu yang tegak berdasarkan paradigma Islam dimana pendidikan diorientasikan pada pembentukan kepribadian, penguasaan tsaqofah Islam dan penguasaan sains dan teknologi, diselenggarakan gratis atau biaya murah, semua itu dinikmati oleh setiap warga negara, muslim dan non muslim (Al Baghdady, 1996). Sebaliknya, sistem pendidikan sekuler yang amburadul, mahal dan arah yang berganti-ganti saat ini menghasilkan sosok manusia yang diragukan kualitasnya terlihat dari maraknya perkelahian pelajar, seks bebas dan penyalahgunaan narkoba. Siapa yang merasa aman dalam dunia pendidikan seperti ini?
Sementara, kemampuan sistem Islam menjaga keamanan, jiwa, harta dan kehormatan melalui penerapan (‘uqûbat) Islam dimana para pelaku pelacuran, perampokan termasuk koruptor, pezina, peminum-minuman keras, pembunuh dihukum setimpal (Abdurrahman Maliky, 1990). Hal ini akan membuat kriminalitas menurun dan segala penyakit sosial turun drastis atau dapat ditekan serendah mungkin. Semua kebaikan ini akan dinikmati oleh setiap warga. Pada sisi lain, hukum yang diterapkan sekarang terbukti gagal melindungi warga masyarakat. Setiap hari lembaran media massa menyajikan nyawa mudah melayang, harta dan kehormatan terancam, kriminalitas meningkat dimana-mana, pornografi merajalela, pelacuran menjamur, hamil di luar nikah seakan dipandang biasa, penyalahgunaan narkotika menjadi menu sehari-hari. Sebagai contoh beberapa waktu yang lalu polisi mengungkap pabrik ekstasi di Tangerang seluas 2500 meter persegi. Siapa yang merasa nyaman dan mau tetap mempertahankan sistem seperti ini?
Kapitalisme, di satu sisi memang menghasilkan kemajuan material lebih dari yang bisa diberikan oleh sosialisme. Tapi, di sisi lain sistem ini telah menciptakan kondisi yang dalam banyak hal justru bertentangan dengan hakikat eksistensi manusia: kesenjangan ekonomi, kehidupan materialistik dan proses dehumanisasi. Dengan prinsip survival of the fittest dimana the might is right membuat yang kuat makin menindas yang lemah, hukum rimba berlaku. Syariat Islam menghentikan semua itu. Kemajuan material tidak boleh dihalang-halangi sepanjang didapat melalui jalan yang benar dan dikembangkan sesuai syariah. Hasilnya, kemajuan material bisa dicapai, kepuasaan spiritual tak terabaikan dan keadilan terujudkan. Dengan syariat Islam, manusia akan tumbuh menjadi makhluk yang mengabdi kepada Sang Khaliq semata, hidup sejahtera, bahagia lahir-batin, baik individual maupun komunal. Pengabdian kepada Allah swt. diujudkan terus di tengah gemerlap kemajuan material, karena semua tatanan berjalan sesuai syariat Islam.
Selain itu, secara syar’iy, setiap muslim dituntut untuk menerapkan syariat Islam secara keseluruhan. Banyak sekali nash-nash yang menjelaskan hal ini. Diantaranya adalah firman Allah Swt.:
]وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ[
Apa saja yang diberikan oleh Rasul kepada kalian, terimalah. Apa saja yang dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (TQS al-Hasyr [59]: 7).
Kata mâ yang terdapat pada ayat di atas berbentuk umum, artinya mencakup seluruh bentuk perintah dan larangan Allah. Sementara itu, seluruh perintah dan larangan Allah Swt. tersebut dikemukakan dalam bentuk yang bersifat pasti (jazm). Dengan demikian, apa saja yang dibawa oleh Rasulullah saw.—berupa perintah Allah yang mencakup seluruh al-Quran dan Sunnah Nabi saw.—harus diterima (diterapkan) oleh kaum Muslim. Sebaliknya, apa saja yang dilarang Rasulullah saw.—berupa larangan Allah yang mencakup seluruh al-Quran dan Sunnah Nabi saw.—harus ditinggalkan oleh kaum Muslim. Dalam hal ini, pihak yang dibebani hukum adalah individu, jamaah, dan negara (para penguasa), karena seruannya berbentuk umum, yakni ditujukan kepada seluruh orang Mukmin.
Meskipun ayat ini menjelaskan tentang masalah hatra fa’i Bani Nadhir, tetapi yang paling penting (‘ibrah) adalah bentuk umumnya ayat tersebut, sebagaimana kaidah ushul menyatakan:
‘Ibrah itu adalah atas keumuman lafazh, bukan kekhususan sebab (turunnya ayat).
Begitu pula firman Allah Swt. berikut:
]وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا[
Tidaklah patut bagi pria Mukmin dan tidak pula bagi wanita Mukmin, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada pilihan yang lain tentang urusan mereka. Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya dia telah benar-benar tersesat. (TQS al- Ahzâb [33]: 36).
Berdasarkan alur berpikir seperti tadi, nampak bahwa tuntutan formalisasi syariat Islam lahir dari kesadaran akan kebobrokan akibat tatanan hidup selama ini dan wujud tanggung jawab untuk menata kehidupan baru yang lebih baik dengan tegaknya syariat Islam bagi semua menuju masyarakat modern yang beradab. Disamping merupakan kesadaran akan kewajiban dari Allah Pencipta manusia untuk menegakkan hukum-hukum-Nya demi kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.
Pengertian Rahmatan Lil Âlamîn
Allah SWT berfirman:
]وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ[
“Dan tiadalah Kami utus engkau (ya Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam” (TQS. AL Anbiya 107).
Syaikh An Nawawi Al Jawi dalam tafsir Marah Labid (Tafsir Munir) Juz II/ 47 menafsiri ayat itu sebagai berikut: Tidaklah Kami utus engkau wahai makhluk yang paling mulia dengan berbagai peraturan (bisyarâi’) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam, melainkan dalam rangkan rahmat Kami bagi seluruh alam dalam agama maupun dunia, sebab manusia dalam kesesatan dan kebingungan. Maka Allah SWT mengutus Sayyidina Muhammad saw. sehingga beliau saw. menjelaskan jalan menuju pahala, menampilkan dan memenangkan hukum-hukum syari’at Islam, membedakan yang halal dari yang haram. Dan setiap Nabi sebelum beliau saw. manakala didustakan oleh kaumnya, maka Allah membinakan mereka dengan berbagai siksa, namun bisa kaum Nabi Muhammad mendustakannya, Allah SWT mengakhirkan adzab-Nya hingga datangnya maut dan Allah SWT mencabut ketetapan-Nya membinasakan kaum pendusta Rasul. Inilah umumnya tafsiran para mufasirin.
Jelaslah bahwa rahmat Allah SWT ini bukanlah berkaitan dengan pribadi Muhammad saw. sebagai manusia, tapi dia sebagai rasul yang diutus dengan membawa suatu syari’at yang memang paling unggul dibandingkan aturan-aturan atau agama yang ada di dunia, sebagaimana firman-Nya:
]هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللهِ شَهِيدًا[
“Dialah Allah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak, agar Dia menangkan agama itu atas semua agama-agama lainnya. Dan cukuplah Allah sebagai saksi” (TQS. Al Fath 28).
Dalam tafsir Shofwatut Tafasir Juz II/253, Al Ustadz Muhammad Ali As Shobuni memberikan catatan: Allah SWT tidak berfirman wama arsalnaka illa rahmatan lilmukminin, tetapi ..lil ‘alamin, sebab Allah SWT menyayangi seluruh makhluk-Nya dengan mengutus Muhammad saw. Kenapa demikian? Sebab, dia saw. datang kepada mereka dengan membawa kebahagiaan yang besar, keselamatan dari kesengsaraan tiada tara, dan mereka mendapatkan dari tangannya kebaikan yang banyak baik dunia maupun akhirat, dia mengajarkan mereka setelah kebodohan mereka, dan memmberikan petunjuk atas kesesatan mereka, dan itulah rahmat bagi seluruh alam, bahkan orang yang menolak risalahnya sekalipun (kuffar), masih dirahmati dengan kedatangannya lantaran Allah SWT mengakhirkan siksaan atas mereka dan mereka tidak disapu bersih oleh adzab Allah sebagaimana kaum terdahu seperti ditimpa gempa, gitenggelamkan dan lain-lain.
Dengan demikian, pengertian rahmatan lil ‘âlamîn itu terwujud dalam realitas kehidupan tatkala Muhammad Rasulullah saw. mengimplementasikan seluruh risalah yang dia bawa sebagai rasul utusan Allah SWT. Lalu bagaimana jika Rasul telah wafat. Rahmat bagi seluruh alam itu akan muncul manakala kaum muslimin mengimplementasikan apa yang telah beliau bawa, yakni risalah syari’at Islam dengan sepenuh keyakinan dan pemahaman yang bersumber pada Al Qur’an dan As Sunnah. Manakala umat Islam telah jauh dari kedua sumber tersebut (beserta sumber hukum yang lahir dari keduanya berupa ijma’ sahabat dan qiyas syar’iyyah) dan telah hilang pemahamannya terhadap syari’at Islam, maka tidak mungkn umat ini menjadi rahmat bagi seluruh alam, Justru dunia rugi lantaran kelemahan pemahaman kaum muslimin terhadap syariat Islam. Oleh kerena itu, berbagai upaya untuk menutupi syari at Islam dan upaya menghambat serta menentang diterapkannya syariat Islam pada hakikatnya adalah menutup diri dan mengahalangi rahmat bagi seluruh alam.
Goal Setting Penerapan Syari’at Islam (Maqâshid asy-Syar’iy)
Untuk melihat lebih jauh tentang potensi penerapan syari’at Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, perlu kita kaji tujuan luhur penerpaan syari’at Islam dalam memelihara kehidupan masyarakat dengan hukum-hukum yang dapat ditargetkan dan diandalkan untuk memelihara aspek-aspek penting Paling tidak ada 8 aspek dalam kehidupan luhur masyarakat manusia yang dipelihara dalam penerapan syari’at Islam, yaitu (lihat Muhammad Husain Abdullah, Dirasat fil Fikri al Islami, 1990, hlm. 61):
1. Memelihara keturunan, yakni dengan mensyariatkan nikah dan mengharamkan perzinaan, serta menetapkan berbagai sanksi hukum terhadap para pelaku perzinaan itu, baik hukum jilid maupun rajam. Dengan itu, kesucian dan kebersihan serta kejelasan keturunan terjaga (Lihat: TQS an-Nisa’: 1; TQS ar-Rum: 21; TQS an-Nur: 2).
Cobalah bandingkan dengan sistem demokrasi yang memberikan kebebasan pribadi, kebebasan berperilaku, kebebasan berhubungan seksual (freesex), homoseks, lesbianisme, dan sebagainya yang mereka anggap sebagai bagian dari HAM. Semua itu berujung pada ketidakjelasan keturunan, perselingkuhan, brokenhome, keterputusan hubungan kekeluargaan, dan merebaknya berbagai penyakit kelamin dan AIDS. Kejadian-kejadian demikian bukan hanya merugikan kaum muslim melainkan seluruh kemanusiaan. Sebaliknya, dengan Islam hal tersebut ditiadakan dalam kehidupan. Keuntungan pun akan dirasakan oleh setiap manusia baik muslim atau non muslim.
2. Memelihara akal, yakni dengan mencegah dan melarang dengan tegas segala perkara yang merusak akal seperti minuman keras (muskir) dan narkoba (muftir) serta menetapkan sanksi hukum terhadap para pelakunya. Di samping itu, Islam mendorong manusia untuk menuntut ilmu, melakukan tadabbur, ijtihad, dan berbagai perkara yang bisa mengembangkan potensi akal manusia dan memuji eksistensi orang-orang berilmu (Lihat: TQS al-Maidah: 90-91; TQS az-Zumar: 9; TQS al- Mujadilah: 11 ). Pemeliharaan akal demikian dilakukan bagi setiap orang tanpa memandang agamanya apa. Bila demikian, kemaslahatannya pun akan dirasakan oleh semua manusia siapapun dia. Secara kolektif hal ini sangat meminimumkan social cost yang harus dibayar oleh umat manusia.
Bandingkan dengan cara-cara penanganan pemerintahan kapitalis yang selalu bersikap kompromistis (pemecahan jalan tengah) yang telah menghabiskan bermilyar dolar tanpa hasil yang nyata. Mereka melarang konsumsi alkohol tetapi tidak menutup pabriknya. Uang dan kebebasan memiliki harta merupakan dorongan kuat bagi para bandar ekstasi dan mafia obat bius untuk tetap melakukan bisnis barang yang sangat merusak generasi anak manusia. Ditemukannya pabrik ekstasi terbesar baru-baru ini di Tangerang tidak jelas bagaimana ujungnya.
3. Memelihara kehormatan, yakni dengan melarang orang menuduh zina, mengolok, menggibah, melakukan tindakan mata-mata, dan menetapkan sanksi-saksi hukum bagi para pelakunya. (Lihat: TQS an-Nur: 4; TQS al-Hujurat: 10-12). Selain itu, Islam mendorong manusia untuk menolong orang yang terkena musibah dan memuliakan tamu. Aturan demikian bukan hanya untuk sesama kaum muslim, melainkan juga untuk setiap manusia.
Bandingkan dengan kebebasan berbicara dan berperilaku yang diberikan demokrasi kapitalistik. Kebebasan semacam ini membuat manusia tidak menghormati sesamanya, anak tidak menghormati orang tuanya, istri tidak menghormati suaminya, bahkan manusia tidak menghormati tuhannya. Tidak sedikit orang-orang Amerika yang membuat parodi dan film yang melecehkan Yesus Kristus maupun tuhan mereka yang lain. Pastur dan gereja adalah bahan olokan dan ejekan yang biasa.
4. Memelihara jiwa manusia, yakni dengan menetapkan sanksi hukuman mati bagi orang yang telah membunuh tanpa hak, dan menjadikan hikmah dari hukuman itu (qishash) adalah untuk memelihara kehidupan (Lihat: TQS al-Baqarah: 179). Kalaupun tidak dikenai hukum Qishash, yang berlaku adalah hukum diat. Berdasarakan diat ini keluarga korban berhak atas ganti rugi yang wajib diberikan pihak keluarga pembunuh sebesar 1000 dinar (4250 gram emas) atau 100 ekor onta atau 200 ekor sapi (lihat Abdurrahman Al Maliki, Nizham Uqubat,Dâr al-Ummah, hlm. 87 - 121). Dengan syariat Islam jiwa setiap orang terjaga, mulai dari janin hingga dewasa. Dengan syariat Islam setiap warga negara Islam apapun suku, ras dan agamanya dipelihara dan dijamin keselamatan jiwanya.
Bandingkan dengan harga murah nyawa manusia di berbagai penjara di sejumlah negara yang menganut sistem demokrasi dan sistem hukum pidana Barat. Bandingkan dengan murahnya nyawa dalam pandangan para pemilik pabrik senjata dan para pedagang senjata internasional yang senantiasa membuat berbagai rekayasa untuk menyulut peperangan di berbagai belahan dunia. Demi dolar, mereka tidak memperdulikan harga nyawa manusia. Bahkan, mereka lebih menyayangi nyawa ikan paus daripada nyawa anak Adam. Lihat bagaimana mereka begitu sungguh-sungguh melindungi ikan paus , dengan alasan untuk melestarikannya. Sebaliknya, bagaimana mereka, dengan alasan teroris, membunuh ribuan nyawa pejuang-pejuang Islam di Palestina. Perang Dunia I dan II, Perang Vietnam, Perang Teluk, Perang Bosnia, Perang Kosovo, Perang Albania, embargo terhadap Irak, pembantaian muslim Palestina, Penghancuran Afghanistan, Chechnya dan Dagestan adalah secuil bukti nyata tak terbantahkan.
5. Memelihara harta, yakni dengan menetapkan sanksi hukum terhadap tindakan pencurian dengan hukuman potong tangan yang akan mencegah manusia dari tindakan menjarah harta orang lain. (Lihat: TQS al-Maidah: 38). Demikian pula peraturan pengampunan (hijr), yakni pencabutan hak mengelola harta bagi orang-orang bodoh dengan menetapkan wali yang akan memelihara harta yang bersangkutan (Lihat: TQS an-Nisa 5; TQS al-Baqarah: 282). Islam juga melarang tindakan belanja berlebihan, yakni belanja pada perkara haram (Lihat: TQS al-Isra’: 29; TQS al-An’am: 141; TQS al-Isra’: 26-27). Ketetapan Islam demikian diperuntukkan bagi semua warga negaranya, tanpa memandang agamanya. Karena itu, siapapun orang yang hidup dalam naungan syariat Islam terpelihara hartanya dan terjamin haknya untuk menjalankan usaha.
Bandingkan dengan sistem demokrasi yang memberikan kebebasan kepemilikan sebagai bagian dari HAM yang membuat orang menghalalkan segala cara demi uang. Penipuan, penyuapan, sabotase, perampokan, pencurian, penjebolan bank melalui internet, apa yang terkenal dengan white colar crime hingga perebutan harta di pengadilan adalah hal biasa. Hukuman penjara bukanlah penyelesaian. Bahkan, tidak jarang, penjara adalah “ajang training dan penambahan wawasan” bagi para pelaku tindak kriminal. Tindak kriminal dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi, dari yang terang-terangan hingga yang paling tersembunyi, dari yang kasar hingga yang paling halus, adalah dalam rangka memenuhi kebiasaan nafsu hidup mewah bangsa-bangsa kapitalis penganut demokrasi. Mereka terbiasa membelanjakan hartanya sekadar untuk bersenang-senang (just for fun ) , hura-hura dan kegiatan-kegiatan yang tidak berguna: pesta, minum, main perempuan, hingga penggunaan narkoba. (Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan paparan numerik tentang berbagai bentuk kehidupan sia-sia bangsa Amerika gembong demokrasi, silakan baca buku Andrew L. Saphiro, Amerika Nomor Satu). Realitas demikian merugikan semua orang, baik muslim ataupun bukan.
6. Memelihara agama, yakni dengan melarang murtad serta menetapkan sanksi hukuman mati bagi pelakunya jika tidak mau bertobat kembali kepangkuan Islam (Lihat TQS al-Baqarah: 217 dan Hadis Nabi). Sekalipun demikian, Islam tidak memaksa orang untuk masuk Islam (Lihat: TQS al-Baqarah: 256). Melalui hukum syariat seperti ini kaum muslim terjamin untuk melaksanakan ajaran agananya. Demikian pula orang non-muslim bebas untuk menjalankan agamanya tanpa ada paksaan dari siapapun. Negara menjaminnya, masyarakat Islam memberikannya hak.
Bandingkan dengan sistem demokrasi yang memberikan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang—apalagi disertai dengan paradigma bahwa dalam beragama jangan gunakan akal—telah membuat tidak sedikit anak bangsa mereka terperosok ke dalam agama yang tidak masuk akal dan sekte-sekte sesat yang, antara lain, menyajikan bunuh diri massal sebagai solusi dalam mengatasi problema hidup mereka. Padahal, Allah Swt. sebagai Pencipta manusia, alam semesta, dan kehidupan telah menganugerahi naluri fitri beragama (Lihat: TQS ar-Rum: 30) dan akal (Lihat: TQS al-A’raf: 179; TQS an-Nahl: 78) agar manusia dapat berjalan menempuh kehidupannya di jalan agamanya yang lurus.
7. Memelihara keamanan, yakni dengan menetapkan hukuman berat sekali bagi mereka yang mengganggu keamanan masyarakat, misalnya dengan memberikan sanksi hukum potong tangan plus kaki secara silang serta hukuman mati dan disalib bagi para pembegal jalanan (Lihat: TQS al-Maidah: 33). Hukum syariat demikian diberikan kepada semua warga negara, baik muslim atau non-muslim tanpa diskriminatif. Bahkan, siapapun yang mendalami syariat Islam akan menyimpulkan bahwa keamanan merupakan salah satu kebutuhan pokok kolektif warga yang dijamin oleh Daulah Islamiyah.
Bandingkan dengan sistem hukum pada negara-negara demokrasi dan penganut sistem hukum Barat yang tidak tegas terhadap para pengganggu keamanan masyarakat. Akibatnya, para residivis bisa menjadi raja preman di luar penjara. Bahkan, sudah sangat masyhur bahwa mafia dan kelompok gangster justru memiliki hubungan “persahabatan” dengan polisi sehingga keberadaan perampok, penjahat, jalanan, dan berbagai mafia kejahatan tetap eksis di seluruh dunia.
8. Memelihara negara, yakni dengan menjaga kesatuannya dan melarang orang atau kelompok orang melakukan pemberontakan (bughat) dengan mengangkat senjata melawan negara (Lihat: TQS al-Maidah: 33 dan Hadis Nabi). Juga hadits Nabi Muhammad saw: “Siapa yang datang kepada kalian dimana urusan pemerintah kalian di tangan seorang amir, lalu dia berusaha memecah belah jama’ah kalian, maka potonglah leher orang itu” (lihat An Nabhani, Nizhomul Hukmi fil Islam). Paradigma dasarnya Islam hendak menyatukan seluruh umat manusia, bukan memecah-belahnya.
Bandingkan dengan sistem demokrasi yang memberikan hak untuk menentukan nasib sendiri dari suatu bangsa atau daerah. Hal itu sering dipakai sebagai alat untuk melakukan gerakan sparatis. Apa yang terjadi di Indonesia dan Irak adalah contoh nyata. Barat mengopinikan kepada dunia bahwa masing-masing bangsa berhak untuk hidup merdeka. Mereka ikut campur dengan motif-motif politik ataupun ekonomi untuk mengambil untung dari konflik antara suatu daerah atau etnis dengan pemerintahan pusat tersebut. Apalagi Konggres AS siap meratifikasi UU Perlindungan Minoritas yang memberikan kewenangan kepada Angkatan Bersenjata AS untuk mengintervensi negara mana pun yang dianggap melakukan penindasan kepada minoritas. Kini dunia Islam dipecahbelah, dikerat-kerat menjadi lebih dari 50 negara.
Nampaklah, setiap hukum Islam bila diterapkan akan menghasilkan goal setting seperti itu. Kesemuanya itu akan dirasakan dan menjadi hak setiap orang yang tunduk kepada aturan syariat Islam tersebut, baik muslim ataupun bukan. Dengan demikian, melalui penerapan syariat Islam secara total kemaslahatan akan dirasakan oleh semua umat manusia. Islam benar-benar merupakan rahmatan lil ‘âlamîn.
Beberapa Contoh
Banyak sekali contoh hukum syariat yang secara kasat mata menunjukkan keberpihakkannya pada siapapun (muslim atau non-muslim) yang mendukung syariat Islam. Diantaranya adalah:
Pertama, Kebijakan ekonomi umum. Islam memandang bahwa masalah ekonomi adalah buruknya distribusi kekayaan di masyarakat dan pemenuhan kebutuhan di masyarakat bukanlah pepenuhan total kebutuhan, tapi pemenuhan per individual secara menyeluruh. Dari sini kebijakan ekonomi yang dibuat adalah, pertama: negara wajib memenuhi kebutuhan dasar (hajat asasiyah), yakni sandang, pangan, papan, bagi seluruh rakyat per individual. Tidak boleh ada yang lapar, telanjang, dan tidak bisa berteduh di suatu rumah (dimiliki maupun disewa). Nabi bersabda: “Penduduk mana saja yang membiarkan salah seorang warganya kelaparan, Allah akan melepas jaminannya kepada mereka semua”. Dalam hadits lain beliau saw. bersabda: Tidaklah beriman kepadaku, orang yang tidur nyenyak di malam hari sementara tetangganya kelaparan, padahal dia tahu”. Dalam hal ini negara memberikan peluang kerja seluas-luasnya, dan menyantuni mereka yang lemah dan papa. Kedua, negara memberi peluang seluas-luasnya bagi seluruh warga negara tanpa membedakan satu dengan yang lain, untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan penyempurna hidup (hajat kamaliyah). Dalam hal ini negara memberi fasilitas seluas-luasnya, termasuk bebas beaya administrasi untuk usaha masyarakat mengembangkan modalnya, tanpa membedakan antara Marwan dengan Martin, tanpa membedakan antara Jamilah dengan Jenifer. Semua diberi kemudahan. Dan pemerintah tidak berbisnis, tapi mengayomi semua. Ketiga, negara wajib memberikan pengarahan dan batas kepada masyarakat agar dalam menikmati kekayaan yang dimilikinya mengikuti pola kehidupan yang khas, yakni senantiasa di dalam koridor kehalalan. Dan apabila terjadi ketidak seimbangan ekonomi antara warga negara, dikarenakan kemampuan yang berbeda-beda, negara wajib melakukan penyeimbangan dengan memberikan bantuan cuma-cuma kepada kelompok masyarakat yang lemah dan papa (fakir miskin) agar mampu bangkit menjadi mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Allah SWT berfirman: “Agar jangan harta itu hanya berputar di kalangan orang kaya di antara kalian” (TQS. Al hasyr 7).
Kedua, Jaminan Kesejahteraan umum, pendidikan, kesehatan, dan keamanan gratis bagi semua warga negara Islam. Islam memerintahkan negara untuk menjamin kebutuhan kolektif masyarakat (tanpa membedakan kaya maupun miskin). Masyarakat dipelihara oleh negara hingga menjadi masyarakat yang cerdas, sehat, kuat dan aman. Pendidikan secara umum diwujudkan untuk membentuk pribadi-pribadi yang memiliki jiwa yang tunduk kepada perintah dan larangan Allah SWT, memiliki kecerdasan dan kemampuan berfikir memecahkan segala persoalan dengan landasan berfikir Islami, serta memiliki kemampuan ketrampilan dan keahlian untuk bekal hidup di masyarakat. Semua diberi kesempatan untuk itu dengan menggratiskan pendidikan dan memperluas fasilitas pendidikan, baik itu sekolah universitaa, masjid, perpustakaan umum, bahkan laboratorium umum. Rasulullah saw. menerima tebusa tawanan perang Badar dengan jasa mereka mengajarkan baca tulis anak-anak kaum muslimin di Madinah. Rasul juga pernah mendapatkan hadiah dokter dari Raja Najasyi lalu oleh beliau saw. dokter itu dijadikan dokter umum yang melayani pengobatan masyarakat secara gratis (lihat Abdurrahman Al Baghdadi, Sistem Pendidikan di masa Khilafah, juga Abdul Aziz Al Badri, Hidup Sejahtera di bawah naungan Islam).
Ketiga, Politik keuangan. Islam menetapkan emas (dinar) dan perak (dirham) dijadikan sebagai mata uang. Berbagai hukum Islam dalam penerapannya berkaitan dengan mata uang tersebut, seperti diat misalnya, 1000 dinar. Dan fakta menunjukkan bahwa standar alat tukar itu tidak terkena inflasi, tidak lapuk oleh zaman, dan tak akan terguncang nilainya oleh perubahan sosial politik. Andai Indonesia menggunakan emas dan perak sebagai mata uangnya, tentulah tidak akan terjadi krisis moneter seperti yang terjadi pada tahun 1997.
Islam juga mengajarkan bahwa uang sebagai alat tukar itu tidak boleh diam, harus produktif. Allah mengancam orang-orang yang menimbun emas dan perak dalam firman-Nya:
]وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ@يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ ِلأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ[
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, nmaka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapatkan sisksa yang pedih pada hari dipanaskan emas dan perak itu di dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengan-Nya dahi mereka, lambung, dan punggung mereka lalu dikatakan kepada mereka, :Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang akibat dari apa yang kamu simpan itu”. (TQS. At Taubah 34-35).
Diriwayatkan bahwa di masa Rasul ada seorang ahli shuffah (orang yang tinggal di dalam satu ruangan masjid Nabawi yang telah berikrar hanya berdakwah dan hidup mereka ditanggung kaum muslimin, artinya tidak perlu uang lagi) meninggal lalu di tempat tidurnya terdapat uang logam satu dinar/dirham, lalu rasul menyebut potongan uang logam itu dengan sebutan: kayyah, attinya : sepotong api neraka!
Juga Islam menetapkan bahwa uang sebagai alat tukar tidak boleh diputar dalam bisnis non riil, seperti dipinjamkan untuk mendapatkan ribanya. Jelas Allah SWT mensifati bisnis riba ini sebagai yang bisnis yang tidak bakal stabil. Allah mengumpamakan orang-orang yang makan riba bagaikan orang yang sempoyongan kemasukan syetan. Dia berfirman:
]الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا[
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syetan lantaran tekanan penyakit gila. Keadaan demikian disebabkan mereka mengatakan sesungguhnya jual beli sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamlkan riba…” (TQS. aL Baqoroh 275).
Bila hal ini diterapkan maka ekonomi akan stabil. Dampaknya, bukan hanya dirasakan oleh kaum muslim melainkan juga oleh semua orang.
Begitu pula seluruh hukum lainnya. Berdasarkan hal ini maka mereka yang memahami realitas syariat Islam akan rindu untuk dihukumi dengannya. Betapa tidak, tanpa syariat Islam kehidupan menunjukkan berada dalam kesengsaraan dan kejahiliyahan.
Minoritas non-Muslim Sejahtera dibawah Daulah Islamiyah
Salah satu perkara yang sering disodorkan untuk menolak syariat Islam adalah adanya non-muslim di masyarakat. Mereka mengira bila Islam diterapkan semua orang harus beralih agama, hak beragama non-muslim diabaikan. Padahal, siapapun yang memahami sejarah Nabi akan menolak pandangan seperti tadi.
Negara Islam yang dimulai sejak Rasulullah saw. mendirikan negara Islam di kota Yatsrib (Madînah ar-Rasul atau al-Madînah al-Munawwaroh) terbukti memberlakukan hukum secara sama kepada semua warga negara, baik muslim maupun non-muslim. Orang-orang non-muslim yang menjadi warga negara di dalam sistem negara Islam dikenal sebagai ahlu dzimmah, yakni penduduk non-muslim yang menjadi warga negara yang tunduk kepada sistem hukum Islam. (Lihat: TQS at-Taubah: 29).
Kesamaan hukum di depan pengadilan Islam ini tampak jelas dalam kasus baju besi Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Diriwayatkan bahwa sekembali beliau dari Perang Shiffin, Khalifah Ali merasa kehilangan baju besi (dzira’), baju perlengkapan perang, dan beliau malah menemukan baju miliknya itu di toko seorang Yahudi ahlu dzimmah. Ali mengatakan kepada pemilik toko Yahudi itu, “Ini baju besiku. Aku belum pernah menjualnya dan belum pernah memberikan kepada orang lain. Bagaimana bisa ada di tokomu?”
Orang Yahudi itu membantahnya. Ia mengklaim baju itu miliknya sebab ada di tokonya. Ali, penguasa yang memiliki wilayah kekuasaan yang sangat besar, tidak serta merta mengambil paksa harta milknya. Akan tetapi, ia mengajak Yahudi itu menyelesaikan perkara tersebut di pengadilan. Qadhi Syuraih, yang mengadili perkara itu, meminta Ali menghadirkan saksi atas kepemilikan tersebut. Beliau mengemukakan Hasan, putranya, dan Qonbar pembantunya. Akan tetapi, Qadhi Syuraih menolak saksi tersebut. Ali menegaskan, “Apakah Anda menolak kesaksian Hasan yang oleh Rasul dikatakan sebagai pemuda penghulu surga?”
Meskipun demikian, Qadhi Syuraih bersikukuh dengan ketetapannya dan Ali pun menerima kalah dalam perkara tersebut. Saat itulah, orang Yahudi pemilik toko itu angkat bicara, “Duhai Khalifah Ali, Amirul Mukminin, Anda berperkara denganku tentang baju besi milikmu. Akan tetapi, hakim yang engkau angkat ternyata memenangkan aku atasmu. Sungguh, aku bersaksi bahwa ini adalah kebenaran dan aku bersaksi bahwa tiada Tuhan (yang patut disembah) kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah.” (Lihat: Imam as-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’).
Sungguh, keadilan hukum Islam dan persamaan hukum seluruh warga negara di hadapan hukum Islam telah membuka hati orang Yahudi itu untuk menerima hidayah Islam. Allahu Akbar!
Di samping persamaan di dalam hukum, Khilafah tidak diam terhadap kezaliman yang menimpa orang-orang non muslim. Diriwayatkan bahwa ada kasus kezaliman seorang anak penguasa di wilayah propinsi Mesir di masa Khalifah Umar ibn al-Khaththab r.a. Beliau segera memanggil anak Gubernur dan bapaknya (Amr bin A’sh r.a.). Dalam sidang yang ditegakkan keadilannya, tanpa membedakan agama warga negara, anak gubernur Mesir itu mengaku bahwa dia mencambuk anak Qibthi yang beragama Nasrani (Koptik). Sesuai hukum acara pidana Islam, Khalifah memberikan pilihan kepada korban, apakah membalas cambuk (qishash) ataukah menerima bayaran ganti rugi (diyat) atas kezaliman itu. Anak Qibthi itu memilih Qishash. Ia pun mencambuk anak Gubernur. Setelah pelaksanaan hukum Qishash itu, Khalifah Umar mengatakan: “Hai anak Qibthi, orang itu berani mencambukmu karena dia anak Gubernur, oleh karena itu, cambuk saja Gubernur itu sekalian!”
Akan tetapi, anak Qibthi Nasrani itu menolaknya dan telah menyatakan kepuasannya dengan keadilan hukum yang diperolehnya dalam hukum Qishash. Umar pun berkomentar, “Hai Amr (Gubernur Mesir di masa Khalifah Umar), sejak kapan engkau memperbudak anak manusia yang dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merdeka?” (Lihat: Manaqib Umar).
Fakta-fakta sejarah di atas menggambarkan kepada kita bahwa konsep dan pelaksanaan hukum Islam di masa khilafah itu penuh dengan keadilan. Oleh karena itu, bohong besar apa yang dikatakan oleh orang anti-Islam yang memprovokasi bahwa kalau berdiri negara Islam, maka orang-orang Nasrani akan mendapat bahaya atau diskrimansi.
Provokasi murahan demikian bertentangan sekali dengan isi surat Nabi Muhammad saw. kepada penduduk Yaman yang sebelum masuk Islam merupakan mayoritas Yahudi dan Nasrani: “Siapa saja yang masih tetap dalam agama Yahudi dan Nasrani yang dipeluknya, dia tidak akan difitnah, dan wajib baginya membayar jizyah.” (Lihat: Ahkam adz-Dzimmi, An-Nabhani, As-Syakhsihiyyah Islamiyyah, juz 2/237). Begitu pula tindakan Nabi Muhammad saw. yang menerapkan hukum rajam kepada dua orang Yahudi yang berzina, sebagaimana beliau juga pernah menjatuhkan hukum rajam kepada seorang wanita muslimah dan seorang pria muslim (Lihat: Abdurrahman al-Maliki, Nizhom al Uqubat).
Begitulah ajaran Islam yang telah diterapkan oleh Rasul Saw. beserta para sahabatnya. Karenanya, jelas bahwa sejak awal Islam hidup dan berhasil memimpin masyarakat di tengah pluralitas (bukan pluralisme) agama. Manakah yang hendak dipilih menerapkan syariat Islam untuk menyelesaikan berbagai problematika kemanusiaan dewasa ini ataukah menolaknya hanya sekedar kekhawatiran –yang senyatanya berhenti pada kekhawatiran semata- atas beragamnya masyarakat dengan tetap membiarkan umat manusia meluncur menuju jurang kehancuran ke arah kebinatangan? Adalah tidak layak umat Islam menolak penerapan syariat Islam dengan alasan adanya pluralitas masyarakat, padahal Rosullulah telah menerapkan syariat Islam justru pada masyarakat yang plural (beragam)
Menepis Keberatan
Hambatan‑hambatan dalam menerapkan Syariat Islam dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pertama, kebencian orang‑orang kafir, fasik, dan zhalim akan Syariat Islam, dan kedua, kesalahan kaum Muslimin dalam memahami Syariat Islam. Akibatnya, muncullah ‘keberatan’ yang sebenarnya lebih mencerminkan ketakberhasilannya dalam mengapresiasi ajaran Islam. Hambatan dari orang-orang kafir, jelas bukan dalam kendali kaum muslim. Karenanya, yang lebih penting adalah bagaimana menata sikap kaum muslim yang masih miring terhadap syariat Islam sebagai ajaran agama yang dianutnya.
Secara umum, kendala yang ada pada kaum muslim dalam menerapkan syariat Islam adalah masalah kekurangpahaman atau kebelumpahaman saja. Hal ini dapat dilihat dari ‘keberatan’ yang seringkali diungkapkan.
Dalam hal konsepsi, diantara ‘keberatan’ itu adalah:
1. Islam itu yang penting substansinya, bukan formalitasnya. Pendapat seperti ini bukan hanya berbahaya tapi juga bertentangan dengan realitas. Pertama, tidak ada aturan yang diterapkan sekedar substansinya saja. Mengapa mereka begitu getol memperjuangkan sekularisme, demokrasi dan berupaya mempertahankan formalitas sistem tersebut yang nota bene warisan kolonial? Padahal, jika mereka konsisten dengan pendapatnya tadi semestinya cukup hanya substansi demokrasi saja yang dituntutnya, dan substansi sekulerisme saja yang diinginkannya?!. Tapi, kenyataannya tidaklah demikian. Kedua, tidak diformalkannya syariat Islam hanya berarti memberikan peluang untuk main hakim sendiri. Padahal, semua sepakat bahwa tidak boleh main hakim sendiri.
2. Penduduk yang hidup di suatu negara bukan hanya muslim, tetapi juga non-muslim; tidak homogen tapi heterogen. Pertama, dalih ini sebenarnya mencerminkan kegagalan pihak tersebut memahami realitas masyarakat. Dalam kenyataannya, hukum yang diterapkan bukan berarti harus di kalangan yang homogen. Contoh, di Amerika tidak semua penduduknya Kristen, tetapi aturan yang diterapkannya kapitalisme. Di Indonesia, terdapat 4 agama resmi yang diakui, tapi hukum yang diterapkan juga kapitalisme atas dasar sekularisme. Di Cina, puluhan juta umat Islam tinggal di sana, namun aturan yang diberlakukan aturan sosialisme-komunisme. Jadi, tidak rasional menolak ditegakkannya syariat Islam dengan alasan heterogenitas penduduknya. Tetapi, tidak pernah manyatakan dilarang menerapkan sistem kapitalisme karena tidak semua penduduk berideologi kapitalisme; tidak pernah juga berteriak tidak boleh menerapkan sosialisme-komunisme dengan alasan tidak semua penduduknya berideologi sosialisme-komunisme. Sebenarnya persoalannya bukan terletak pada homogen atau heterogen, tetapi terletak pada sistem aturan mana yang akan diterapkan untuk mengatur penduduk (apapun agamanya) demi terciptanya keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat. Dan, jawabannya: Islam! Kedua, tidak paham terhadap kenyataan hidup Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya. Sejarah menunjukkan bahwa penduduk negara Islam saat itu bukan hanya muslim, ada juga Yahudi dan Nasrani. Buktinya, lebih dari 10 abad syariat Islam bertahan. Ketiga, tidak menghayati bahwa syariat Islam itu untuk kebaikan bersama. Contoh, ketika riba dilarang sebagai landasan perekonomian, hal ini bukan ditujukan hanya bagi kepentingan kaum muslim, melainkan juga untuk penduduk non-muslim. Dan, faktanya, akibat riba kini Indonesia dijerat hutang luar negeri. Yang rugi? Semua penduduk, muslim dan non-muslim.
3. Dalih lain yang diajukan pihak yang menolak syariat Islam adalah adanya ragam pendapat tentang sistem politik dan kenegaraan Islam; sistem mana yang akan diterapkan? Alasan ini pun terlihat ‘genit’. Sebab, dalam sistem manapun sulit hanya ada satu pendapat saja. Misalnya, banyak beragam pendapat tentang sistem republik, presidentil ataukah parlementer. Bentuknya pun pro kontra, apakah kesatuan, federalisme, ataukah kesatuan dengan otonomi daerah. Pendapat dalam sistem pemilihan pun berbeda-beda, apakah harus pemilihan langsung (seperti keyakinan J. J. Roussau), perwakilan, distrik, dan sebagainya. Realitasnya, perbedaan pendapat ini tidak menghalangi mereka menerapkan sistem demokrasi kapitalisme dalam berbagai bidang, termasuk politik. Mengapa, adanya perbedaan pandangan tentang beberapa hal politik dan sistem kenegaraan Islam dijadikan dalih untuk tidak ditegakkannya syariat Islam? Sementara untuk sistem selain Islam tidak diungkapkan alasan serupa?
4. Tuduhan lain yang kerap ditujukan untuk menentang syariat Islam adalah stigmatisasi bahwa hukum Islam itu kejam, diskriminasi, dan ‘primitif’. Tuduhan ini sebenarnya lebih menggambarkan ketakutan terhadap syariat Islam. Padahal, jika kita pikirkan, misalnya, antara masyarakat yang rata-rata kehidupan seksual para anggotanya bersih karena diberlakukan hukum Islam dengan masyarakat yang permisif dan kacau; yang didalamnya industri seks sudah dianggap sebagai hal yang lumrah, aurat tidak boleh dihalangi untuk dipamerkan karena diskriminatif; hukum ditentukan oleh yang kuat (hukum rimba); maka bagaimanakah kesimpulannya? Tentu, masyarakat jenis pertama merupakan masyarakat yang lebih luhur dan lebih sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Sedangkan yang kedua pada hakikatnya menjurus pada masyarakat binatang yang hidup di hutan belantara dengan hukum rimba, yang tidak jauh berbeda dengan hewan ternak (lihat TQS. Al A’râf [7]:179). Tapi, anehnya, banyak masyarakat masih memandang bahwa masyarakat dan negara sekuler-kapitalistik yang serba permisif itulah yang dianggap masyarakat modern (lebih tepat ‘sok modern’), sedangkan masyarakat yang menerapkan dan berupaya untuk menegakkan hukum Islam dipandang sebagai masyarakat tradisional, konservatif, bahkan ‘primitif’. Mana yang lebih kejam, hukum yang memotong tangan pencuri yang betul-betul terbukti dalam pengadilan ataukah hukum yang memenjarakannya yang justru lebih mendidiknya menjadi seorang penjahat kawakan? Aturan mana yang lebih diskriminatif apakah hukum yang memberlakukan semua orang sama ataukah hukum yang memenjarakan seorang pencuri sandal seharga Rp 4000 selama 4 bulan; sedangkan, para perampok BLBI sebesar Rp 164 milyar bebas berkeliaran penuh percaya diri? Padahal, kalau tolok ukurnya pencurian sandal tadi, seharusnya mereka dihukum 41.000.000 bulan atau 3.416.667 tahun?
5. Alasan lain adalah masyarakat tidak siap. Kita layak untuk bertanya, ketika di Indonesia diterapkan lebih dari 80% hukum Belanda (hingga sekarang), apakah rakyat ditanyai sudah siap atau belum? Ketika aturan untuk menerapkan syariat Islam bagi muslim Indonesia dihapus oleh PPKI, apakah rakyat ditanya dulu siap atau tidak dengan penghapusan itu? Dulu, saat diterapkan demokrasi terpimpin dan demokrasi parlementer, apakah rakyat ditanyai kesiapannya terlebih dahulu? Tidak! Mengapa, alasan masyarakat tidak siap itu hanya ditujukan kepada Islam. Padahal, benarkah masyarakat tidak siap? Ataukah, pihak yang tidak siap itu adalah hanya mereka yang kini memegang kekuasaan, duduk di kursi empuk, dan banyak kejahatannya hingga takut kezhalimannya itu terbongkar bahkan diadili?
Itulah sebagian dalih yang diungkapkan untuk menolak syariat Islam. Namun, ternyata semuanya tidak sesuai dengan realitas yang ada.
Akhirnya, nampak betapa syariat Islam merupakan pilihan syar’iy sekaligus rasional untuk diterapkan dalam rangka mengubah kezhaliman menjadi keadilan di tengah-tengah umat manusia, menyingkirkan kejahiliyahan dan hewani diganti oleh cahaya Islam. Tanpa syariat Islam, jangan harap keberkahan dari langit dan bumi dinikmati oleh umat manusia. Alhamdulillâh.
]وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ[
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (TQS. Al A’raf [7] : 96).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar