JATUHNYA SOEHARTO
Oleh : Abdullah Ubay Sidik, SE
Turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan pada bulan Mei 1998 sungguh mencengangkan semua pihak. Bagaimana mungkin Soeharto harus meletakkan jabatannya hanya 72 hari setelah terpilih kembali dengan suara bulat untuk menjadi Presiden RI yang ketujuh kalinya? "Humpty-Dumpty cannot be put together again", demikian ungkapan Jamie Mackie mengutip sebaris syair lagu anak-anak dari Australia untuk menggambarkan runtuhnya rejim Orde Baru. Ungkapan tersebut melukiskan bahwa hancurnya Soeharto dari kedudukan yang digenggamnya selama 32 tahun tak mungkin dihindarkan, walaupun Soeharto telah mencoba bertahan dengan segala cara hingga saat terakhir kejatuhannya. Penggambaran Mackie atas peristiwa yang terjadi pada tanggal 21 Mei 1998 itu tidak hanya melukiskan bahwa jabatan Soeharto telah berakhir, tetapi juga menyatakan siapapun penggantinya tidak akan pernah bisa berkuasa seperti Soeharto.
Bursa pencalonan presiden setelah Pemilu 1997 agak berbeda dengan pencalonan-pencalonan sebelumnya, dimana tradisi calon presiden tunggal mulai mendapat tantangan. Di samping masyarakat mulai berani menolak pencalonan diri kembali Soeharto, juga muncul tokoh-tokoh yang menyatakan diri bersedia dicalonkan sebagai presiden, seperti Amin Rais dan Emil Salim. Namun tak pelak, akhirnya pada bulan Maret 1998 Soeharto terpilih kembali sebagai presiden dengan suara bulat.
Setelah Soeharto terpilih kembali menjadi presiden situasi politik terus menghangat sementara keadaan ekonomi semakin memburuk. Berbagai imbauan, kritik, protes, dan demonstrasi dimana-mana, namun dukungan dari pengikut Soeharto pun tak kalah kuat, bahkan hingga dua hari sebelum mundur sebagian elit politik dan ABRI masih menyatakan kesetiaannya. Agaknya sulit dipercaya bahwa akhirnya pada 21 Mei 1998 Soeharto terpaksa turun dari kursi kepresiden yang telah digenggamnya selama 32 tahun.
'Kerelaan' Soeharto untuk mundur secara tiba-tiba nampaknya didorong oleh beberapa faktor. Faktor utama adalah semakin memburuknya situasi ekonomi saat itu. Berdasarkan analisis Hall Hill munculnya krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi sejak Juli 1997 merupakan persoalan yang secara signifikan menyebabkan jatuhnya Soeharto. Krisis yang awalnya dipengaruhi oleh terjadinya krisis ekonomi di Thailand, kemudian menimbulkan ketakutan para investor untuk melakukan bisnisnya tidak hanya di Thailand tetapi juga di negara Asia Tenggara. Ketakutan ini mengakibatkan pelarian modal ke luar Indonesia secara masif, hingga menyebabkan anjloknya nilai rupiah terhadap dollar AS sampai Rp 17.000,- per dollar. Anjloknya rupiah tentu saja membuat pebisnis collaps karena tidak dapat lagi mengelola hutang luar negerinya. Krisis ekonomi ini juga diperburuk dengan besarnya hutang luar negeri dan buruknya sistem manajemen keuangan dalam negeri. Anjloknya rupiah juga telah membuat harga barang-barang kebutuhan sehari-hari melonjak sangat tinggi dan tidak terjangkau oleh sebagian besar rakyat, sehingga menimbulkan keresahan sosial yang luar biasa.
Faktor kedua, setelah terpilih sebagai presiden untuk yang ketujuh kalinya, Soeharto justru menunjukkan sikap yang sulit dimengerti (erratic). Pengangkatan anggota Kabinet Pembangunan Ketujuh adalah contohnya. Ketika masyarakat mendesak diberantasnya korupsi, ia justru memilih orang-orang yang dinilai masyarakat paling "tercemar" skandal KKN, seperti Mohammad 'Bob' Hassan yang bernotabene sebagai orang kepercayaan bisnisnya. Juga mengangkat Tutut serta kroni-kroni anak perempuannya itu untuk menduduki jabatan dalam kabinet. Hal ini dipandang merupakan usaha Soeharto untuk melestarikan kekuasaannnnya dengan cara membuat suatu dinasti dan mempersiapkan anak perempuannya sebagai pengganti dengan dukungan orang-orang yang dekat dengannya.
Terus memburuknya situasi ekonomi dan ketidakpedulian Soeharto akan aspirasi serta tuntutan reformasi telah membuat mahasiswa semakin gencar melakukan demonstrasi. Sebelum Soeharto terpilih kembali menjadi presiden, mahasiswa Universitas Gajah Mada mengadakan poling yang hasilnya 90 persen responden menolak pencalonan Soeharto. Ketika akhirnya Soeharto tetap menerima pencalonan dan kemudian terpilih kembali, sejak itu mahasiswa tak henti turun ke jalan. Imbauan serta gertakan Soeharto kepada mahasiswa untuk 'kembali ke kelas' tidak lagi didengar, bahkan tertembak matinya empat mahasiswa tak lagi meyurutkan niat mereka untuk terus berdemonstrasi. Dalam hal ini mereka telah mencapai point of no return (hal 176). Bahkan akhirnya aksi protes yang didukung oleh berbagai elemen masyarakat tersebut meluas hampir di semua kota besar di Indonesia. Puncaknya adalah didudukinya Gedung DPR oleh mahasiswa 18-23 Mei 1998. Tekanan dari para mahasiswa ini tak dapat dipungkiri merupakan salah satu faktor penentu mundurnya Soeharto.
Bersama-sama dengan para mahasiswa para pemimpin oposisi seperti Amin Rais, Megawati , dan Abdurrahman Wahid pun nyaring menyuarakan tuntutan reformasi. Walaupun dinilai gagal untuk menyatukan diri untuk membentuk suatu People Power, namun ketiga pemimpin tersebut bersama-sama para pengikutnya telah memberi tekanan tersendiri bagi Soeharto untuk mundur. Amin Rais merupakan orang pertama yang menyatakan mencalonkan diri sebagai presiden dan kemudian secara tegas meminta Soeharto untuk mundur. Ia secara konsisten menempatkan diri sebagai oposan Soeharto paling tidak mulai tahun 1997. Amin Rais, lah yang menyerukan reli people power yang sedianya akan diadakan di silang Monas sehari sebelum Soeharto turun, namun akhirnya dibatalkan karena ditakutkan menimbulkan kerusuhan.
Selain tekanan dari mahasiswa dan pemimpin sipil, perpecahan elit di tubuh ABRI juga merupakan faktor penyebab jatuhnya Soeharto. Secara tidak langsung perpecahan tersebut diciptakan oleh Soeharto sendiri dalam usahanya memperlemah pengaruh ABRI terhadap kekuasaannya. Pada bulan Maret 1998, Soeharto membentuk dua basis kekuatan seimbang yang diciptakan sedemikian rupa sehingga salah satu atau dua kubu tersebut tidak mengancam dirinya. Salah satu kekuatan adalah di tangan Jenderal Wiranto, yang dianggap sangat loyal terhadap Soeharto, sebagai komandan tertinggi ABRI dan sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan. Basis kekuatan yang kedua adalah diangkatnya Letnan Jenderal Prabowo Subianto, anak menantunya, sebagai komandan Kostrad.
Walaupun formalnya kesatuan yang dipimpin oleh Prabowo merupakan kekuatan yang tercakup dalam angkatan bersenjata namun pada prakteknya kekuasaan Prabowo lebih besar dari yang seharusnya. Dengan pengaruh serta kedekatannya dengan sejumlah pejabat ABRI lainnya, ia bahkan dinilai mempunyai kekuatan komando yang lebih besar dibanding kekuasaan Wiranto sendiri (hal 19). Prabowo dengan ambisinya yang tak terkendali mencoba 'menggembosi' kekuasaan Wiranto dengan menciptakan berbagai tindakan yang akhirnya membuat citra ABRI semakin buruk. Peristiwa pembunuhan empat mahasiswa Universitas Trisakti dan kerusuhan yang terjadi antara 12-15 Mei di Jakarta dan Solo, disinyalir didalangi oleh Prabowo. Peristiwa ini diciptakan untuk menunjukkan bahwa Wiranto tidak efektif dan tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan keamanan dan mengontrol kerusuhan. Pembentukan dua kekuatan yang bersaing ini pada akhirnya merupakan salah satu faktor yang penyebab turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan.
Kepemimpinan Habibie
Turunnya Soeharto meninggalkan banyak pertanyaan yang sulit dijawab, salah satunya adalah, dapatkah bangsa Indonesia bangkit segera dari krisis ekonomi? Tak ada yang dapat menjawab dengan pasti, namun dapat dilihat betapa menumpuknya pekerjaan ekonomi yang harus segera diselesaikan, seperti perbaikan nilai rupiah, perbaikan sisten perbankan dan keuangan, pengurangan atau reskedul hutang luar negeri, perbaikan sistem perdagangan, melonjaknya jumlah penduduk miskin yang diperkirakan mencapai 100 juta orang, dan masih banyak lagi. Tidak bisa tidak, bahwa pemulihan bidang ekonomi ini sangat erat kaitannya dengan reformasi bidang politik.
Naiknya Habibie ke kursi kepresidenan banyak menimbulkan perasaan pesimis, baik dalam pemulihan ekonomi maupun demokratisasi sistem politik di Indonesia. Tentu saja pesimisme semacam itu dapat dimengerti mengingat pengalaman politik yang dimiliki Habibie kurang meyakinkan. Selain itu, kedekatannya dengan Soeharto membuat orang ragu akan kemampuannya mengemban misi reformasi. Namun demikian, Habibie tidak sendirian, kalangan Muslim moderat, intelektual dan pengusaha yang sebagian besar non-Jawa, serta sebagian elit angkatan bersenjata ada dibelakangnya.
Selain pesimisme serta ketidakpercayaan publik terhadap kemampuan Habibie untuk melakukan reformasi politik dan ekonomi, euphoria masyarakat akan mundurnya Soeharto juga menambah pekerjaan tersendiri bagi Habibie. Runtuhnya Orde Baru seolah melepaskan masyarakat dari semua kekangan yang telah diciptakan oleh rezimnya Soeharto tersebut. Sejak itu mahasiswa dan seluruh elemen masyarakat lainnya tak henti menyuarakan tuntutan mereka pada pemerintah Habibie, seperti pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) pada semua lapisan pemerintahan. Tuntutan pengembalian tanah oleh petani di pedesaan dan penduduk miskin di perkotaan atas tanah mereka yang digusur pemerintah Orba juga gencar dilakukan. Dibanyak tempat tuntutan semacam ini akhirnya di sertai dengan penjarahan, tidak hanya di toko-toko, tetapi juga pada lokasi usaha dan bisnis seperti pabrik garmen, tambak udang, dan perkebunan-perkebunan.
Prospek ke depan
Tidak mudah nampaknya bagi para penulis buku ini untuk mempredikasi bagaimana keadaan Indonesia dimasa mendatang. Dengan segala persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia, jatuhnya Soeharto tidak hanya menumbuhkan harapan-harapan tetapi juga menimbulkan banyak kecemasan. Harapan bahwa berakhirnya Orba akan membuat iklim politik di Indonesia menjadi lebih demokratis serta menuntun pada pemulihan dan perbaikan ekonomi; serta kecemasan bagaimana bangsa Indonesia dapat menyelesaikan semua persoalan yang rumit bak benang kusut.
Terlepas dari harapan yang tumbuh, diyakini oleh para penulis, bahwa terpuruknya perekonomian Indonesia membutuhkan kerja keras di segala sektor dan waktu yang cukup lama untuk memulihkan. Sementara itu, jatuhnya Soeharto tidak dengan sendirinya berarti iklim politik berubah menjadi demokratis. Namun demikian, pengamat politik Jamie Mackie dan Richard Robinson yakin bahwa siapapun penggantinya tidak akan pernah berkuasa seperti Soeharto. Pemerintah yang akan datang diperkirakan tidak akan dapat meniru pola personalisasi kekuasaan dengan mengkonsentrasikan otoritas pengambilan keputusan dan pengaturan sumber dan di satu tangan, yaitu presiden; pola pemerintahan akan bergerak ke arah kehidupan politik yang lebih demokratis serta partisipatif; depolitisasi di tingkat grassroot serta adanya politisi yang bisu dan tumpul perlahan akan berubah; sistem politik yang tersentralisasi dan patrimonial akan berubah; hubungan pemerintah dengan organisasi Islam akan berbeda dengan pemerintah Soeharto; dan perimbangan kekuatan negara dan masyarakat juga berubah dimana negara akan berkurang kekuatannya dan masyarakat akan memiliki posisi yang lebih kuat.
Perubahan sistem politik kearah demokrasi, sayangnya, akan menghadapi beberapa hambatan, antara lain adalah adanya konstelasi interes dan kekuasaan pola Orde Baru yang telah mengakar yang telah menciptakan birokrasi sipil dan militer yang tidak efisien; sehingga perubahan yang dilakukan tidak hanya pada perbaikan kapabilitas pengelolaan negara tetapi harus dapat merubah fundamen sistemnya. Selain itu, lemahnya kekuatan dan persatuan kubu reformis juga dapat menghambat lajunya proses reformasi dan demokratisasi.
Cepatnya perubahan iklim politik dalam negeri setelah mundurnya Soeharto telah memunculkan berbagai spekulasi, analisis, dan prediksi. Bagi para pengamat, perubahan yang baru seumur jagung tersebut banyak menyisakan pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan yang paling fundamental nampaknya adalah apakah jatuhnya Soeharto akan membawa perubahan ke arah masyarakat yang demokratis atau status quo akan kembali menjadi pola? Apakah Indonesia mampu segera memulihkan ekonominya? Apakah pemerintah Habibie akan mampu menyelenggarakan pemilu dengan sistem baru yang bebas dan adil? Apakah partai kontestan pemilu akan dapat mengakomodasi aspirasi rakyat mengenai persoalan tanah, korupsi, dan kemiskinan, dan lainnya? Apakah Timor Timur akan mencapai kemerdekaannya? Untuk menjawab semua pertanyaan tersebut nampaknya diperlukanwaktu dan pengamatan yang cermat.
Perkembangan selanjutnya
Bila buku The Fall of Soeharto yang diterbitkan awal tahun 1999 tersebut bila dibaca sekarang, tentu pertanyaan- pertanyaan yang diajukan sebagian telah diketahui jawabannya. Pertanyaaan yang pertama-tama dapat dijawab adalah apakah akhirnya Timor Timur mencapai kemerdekaannya? Jawabnya adalah, ya! Habibie yang dianggap identik dengan Orde Baru, telah membuat presiden ketiga Indonesia ini berusaha keras untuk memperbaiki citra diri dengan cara menyerap sebanyak mungkin aspirasi rakyat. Sikap permisif dan aspiratif ini telah menghasilkan tindakan seperti dibebaskannya para tahanan politik, semakin meningkatnya kebebasan pers, dan diadakannya referendum bagi rakyat Timor Timur. Sementara itu kekhawatiran di kalangan domestik dan internasional tentang kemungkinan terjadinya pemilu yang chaostic tidak terbukti sama sekali. Pemilu yang diikuti oleh 48 partai, termasuk Golkar, dinilai berjalan dengan sangat demokratis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar